Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Indeks Berita

Islam, Aliansi Politik Ulama’ dan Pemerintah

| Editor: Ahmat Zulfi | 25 July 2024 | Last Updated 2024-03-23T12:20:38Z


Newjurnalis.com - Islam adalah agama sempurna dan diridloi Allah SWT, sebagaimana firman Allah swt yang artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. 5 : 3)

Islam adalah sistem yang lengkap bagi kerajaan langit, dunia gaib, dan dunia manusia, serta politik dan manajerial dunia yang teraba dan pelaksanaanya sebagai agama secara utuh hanya terjadi dalam suatu negara, tempat dan geografi tersendiri dan yang terjadi karena loyalitas nasional dan kebangsaan  yang menyatu dengan dimensi loyalitas Islam secara umum. Loyalitas nasional menjadi salah satu tangga-tangga loyalitas insan muslim terhadap Islam yang merupakan sistem pembangunan, maka jalan bagi keamanan untuk mendirikan ajaran Islam atau mewujudkan keamanan sosial bagi manusia yang dikehendaki Islam, adalah dengan negara yang aman, yang menjadi wadah tempat manusia mencari keamanan keIslamannya, yang di dalamnya Islam mewujudkan keamanan bagi manusia ini.

Alasan keberadaan (raison d’etre) komunitas politik Islam (M. Imarah, 2001) adalah untuk menjamin kehidupan bersama yang damai antar anggotanya. Negara akan sesuai dengan syari’ah yang tidak dipaksakan, tetapi merupakan ekspresi sesungguhnya dari kehendak masyarakat karena memilih untuk hidup sesuai dengan Islam dan mentaati syari’ah sesuai dengan hati nurani, secara suka rela dan tulus. Hukuman bagi pelanggaran publik, melawan masyarakat atau melawan diri seseorang tidak dianggap sebagai tindakan-tindakan paksaan sosial, tetapi dilihat sebagai tindakan pemurnian dan bagian dari kerjasama sosial yang melindungi kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan spiritual masyarakat.

Regulasi negara dalam kehidupan beragama dilakukan dalam rangka perlindungan kepada warga negara, yang berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public healt), etika dan moral masyarakat (moral public) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental rights and freedom of order). Untuk itu, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapapun dan dengan alasan apapun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.

Kebebasan berkeyakinan, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama merupakan prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga dapat dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Prinsip ini diwujudkan ke dalam suatu Undang-Undang (UU) yang memayungi kebebasan berkeyakinan, di mana UU diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, syariat agama pada umumnya. Tujuan lainnya adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. Undang-undang ini harus mendefinisikan kebebasan berkeyakinan dan mengedepankan nilai-nilai toleransi.

Bentuk-bentuk kenegaraan yang berasas tauhid yaitu pertama : negara dan masyarakat harus ditegakkan atas dasar keadilan,  kedua : syuro atau musyawarah. Prinsip ini menentang elitisme yang mengajarkan bahwa hanya orang-orang yang menjadi pemimpin (elite) sejalan yang paling tahu cara mengurus dan mengelola negara, sedangkan rakyat tak lebih dari domba-domba yang harus mengikuti kemauan elite, termasuk elite ekonomi, politik ataupun militer.

Politik dapat diartikan sebagai pola hubungan antara rakyat atau masyarakat dan pemerintah Negara dengan pola hubungan kedua pihak tersebut mencakup pemikiran mengenai apa sebenarnya yang mendasari keberadaan negara, fungsi–fungsi yang seharusnya dimainkan pemerintah, di mana nilai–nilai dalam masyarakat tercermin dalam eksistensi dan fungsi negara, dan bagaimana bentuk peran serta partisipasi masyarakat dalam fungsi negara sebagai pengatur masyarakat. Interaksi politik yang terjadi tampak dari para elite atau tokoh–tokoh masyarakat melalui sikap politik yang berupa pemikiran, gagasan dan konsep politik. Selain itu peranan politik elite juga nampak dari perilaku yang ditampilkannya dengan orientasi yang telah terbentuk melalui sosialisasi dan internalisasi nilai–nilai politik termasuk nilai–nilai agama.

Proses perubahan yang terjadi dalam proses pasca modernisasi dengan pendekatan kepemimpinan Islam yang berjuang untuk mendirikan civil society yang mandiri dan kuat sebagai jalan menuju demokratisasi dengan mengembangkan jumlah aktivis-aktivis Islam yang mencurahkan perhatian pada pembelaan masyarakat tingkat bawah dengan memobilisasi pemimpin dari umat Islam dengan pendekatan terbuka yaitu pendekatan alternatif yang merujuk pada upaya menjadikan Islam yang dipercaya sebagai sebuah perangkat ajaran yang memiliki klaim total dan universal untuk menjadi alternatif utama dalam perikehidupan masyarakat yang mendukung strategi top-down maupun buttom-up baik melalui negara maupun organisasi kemasyarakatan Islam melalui kiprah kerja intelektual maupun pragmatis.

Hubungan antara Islam dan birokrasi bersifat timbal balik, saling menguntungkan (reciprocate) dan tumbuh saling pengertian. Kesadaran bahwa Islam merupakan faktor politik yang tak bisa dikesampingkan, dari kalangan intelektual Islam yang muncul ke panggung politik, untuk mendukung suksesnya pembangunan dan mencoba memberikan formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan dalam arti luas dalam pemikiran format “Islam Politik” dan “Islam Kultural”.

Penulis : Ninik Qurotul Aini

No comments: