Bima - NTB | Kasus mengejutkan kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Seorang penyidik Satreskrim dari Polsek Ambalawi diduga kuat melakukan tindak pidana pemerasan terhadap keluarga korban pengeroyokan oleh sekelompok preman. Kasus ini menambah panjang daftar hitam kinerja buruk institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Insiden ini bermula ketika Imam Yaofan alias Ofan, warga Desa Tawali, Kecamatan Wera, mengalami penganiayaan brutal oleh sekelompok preman pada malam Minggu, 3 November 2024. Dalam perjalanan menuju Kota Bima, tepatnya di Desa Rite, Kecamatan Ambalawi, sekitar pukul 20.00 WITA, Ofan dihadang dan dianaiaya dengan menggunakan parang, batu, dan kayu. Akibatnya, Ofan mengalami luka serius di kepala, dahi, tangan, dan pinggang.
Ofan, didampingi keluarganya, segera melaporkan insiden tersebut ke Polsek Ambalawi pada malam yang sama. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, mereka justru menghadapi tindakan pemerasan oleh oknum penyidik Polsek Ambalawi. Sekitar tanggal 20 November 2024, penyidik meminta uang sebesar satu juta tiga ratus ribu rupiah kepada keluarga korban. Penyidik tersebut berjanji akan mempercepat proses hukum jika uang tersebut diserahkan, dan mengancam akan memperlambatnya jika tidak diberikan.
Penasehat hukum korban, Imam Muhajir SH. MH, menyatakan, "Setelah pihak keluarga korban memberikan uang tersebut, bukannya mempercepat proses hukumnya, justru kasus hukumnya malah diterlantarkan oleh penyidik Polsek Ambalawi. Ini sungguh sangat miris sekali."
Akibat tidak adanya kejelasan dalam penanganan kasus penganiayaan ini, kasus tersebut akhirnya dilimpahkan ke Polres Bima Kota pada tanggal 15 Januari 2025. Keluarga korban sangat kecewa dan marah dengan tindakan yang dilakukan oleh oknum penyidik Polsek Ambalawi. Mereka berpendapat bahwa polisi seharusnya melindungi dan memberikan keadilan kepada masyarakat, bukan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Imam Muhajir SH. MH menegaskan, "Realita kasus ini menunjukkan bahwa hukum tidak lagi dikendalikan oleh keadilan, tetapi oleh uang. Ada uang maka ada hukum, tidak ada uang maka jangan terlalu banyak berharap dengan hukum."
Kejadian ini menggarisbawahi urgensi reformasi dalam institusi penegak hukum di Indonesia. Harapan masyarakat akan keadilan semakin memudar ketika penegak hukum justru terlibat dalam tindak pidana yang seharusnya mereka perangi. Keluarga korban tidak hanya memperjuangkan keadilan untuk Ofan, tetapi juga untuk semua korban yang suaranya tak terdengar.
Dimuat Oleh : Deni AH
No comments:
Post a Comment