Tambal Sulam Jalanan Banyuwangi: Cermin Buram Ketidakseriusan Pemerintah Daerah dalam Mengelola Infrastruktur Publik


Banyuwangi~Fenomena tambal sulam jalan yang menjamur di berbagai ruas utama dan lingkungan di Banyuwangi merupakan potret kekeliruan dari infrastruktur struktural yang tak bisa lagi ditutupi.Jalan infrastruktur seharusnya menjadi perwujudan nyata dari visi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: tambalan-tambalan, jalan yang asal jadi, tidak merata,dan kembali rusak dalam hitungan bulan, mencerminkan ketidakseriusan dan kegagalan sistematis dalam tata kelola pembangunan daerah.Kamis,10/04/2025

Permasalahan ini tidak hanya menyentuh aspek teknis,tetapi juga menyentuh persoalan integritas dan komitmen moral para pemimpin pemerintahan daerah. 

Bagaimana mungkin di tengah begitu banyaknya anggaran infrastruktur, jalan-jalan yang menjadi urat nadi aktivitas sosial dan ekonomi dibiarkan seperti kain masyarakat perca? Ini bukan sekedar soal teknis pengerjaan, melainkan pertanyaan etis tentang kesungguhan pemerintah daerah dalam mendengar, melihat,dan menanggapi kebutuhan warganya secara bertanggung jawab.

Lebih memprihatinkan lagi,praktik tambal sulam yang terus menerus dilakukan hanya menunjukkan keberpihakan pada solusi instan yang dipahami,bukan pada penyelesaian struktural yang berjangka panjang. 

Pengerjaan yang terburu-buru,kualitas material yang diremehkan,serta minimnya pengawasan dalam proses pelaksanaan menjadi bukti bahwa infrastruktur dijadikan komoditas proyek,bukan pelayanan publik yang terbuka.

Alih-alih memperbaiki,pola ini justru membuka celah bagi pemborosan anggaran dan potensi korupsi terselubung.

Kritik ini bukan sekadar keluhan masyarakat yang kesal karena terganggunya kenyamanan,melainkan bentuk perlawanan terhadap budaya birokrasi yang melemahkan nurani. 

Ketika pejabat publik seakan menutup mata dan memilih diam atas penderitaan pengguna jalan yang jatuh karena lubang-lubang tersembunyi,maka jelas telah terjadi pembiaran sistemik yang mencederai semangat pelayanan publik. Pemerintah daerah seharusnya menjadi pelayan,bukan penonton bisu di tengah rusaknya fasilitas umum.

Kini saatnya pendekatan tambal sulam tidak hanya ditinggalkan sebagai metode perbaikan fisik jalan, tetapi juga sebagai paradigma dalam mengelola pemerintahan. Banyuwangi membutuhkan kebijakan yang visioner,eksekusi yang profesional,dan pengawasan publik yang ketat. 

Jalan yang baik bukan sekadar soal aspal yang mulus,tetapi tentang keberanian politik untuk memutus rantai pembiaran dan kegagalan yang selama ini ditutupi dengan kata-kata manis dan peresmian seremonial yang hampa makna.


HS (Aktivis & Akademisi)